
Masyarakat Indonesia dikenal di dunia karena keragaman dan keunikan tradisi dan adat istiadatnya. Kali ini muncul tradisi tradisional Bugis Mappadendang yang banyak diperbincangkan masyarakat.
Misalnya, sebuah desa pedalaman yang terletak di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, melakukan ritual khusus untuk pesta panen tradisional. Bahkan hingga saat ini, kegiatan tersebut terus melestarikan budaya tersebut.
Mappadendang sendiri merupakan pesta yang diadakan dalam skala besar. Dalam sifat-sifatnya, itu juga digunakan sebagai alu untuk menumbuk biji dalam lesung dengan tongkat besar.
Tentunya hal ini ada kaitannya dengan rasa syukur kepada Tuhan atas nikmat yang diberikan, yaitu hasil alam. Sehingga masyarakat Bugis selalu menyelenggarakan acara agar selalu diberikan berkah dan nikmat yang unik. Bagaimana implementasinya?
Lihat Mapandang dari sisi yang unik dan istimewa
Hal ini juga membutuhkan keterikatan antar kelompok manusia dalam pertunjukannya, meskipun acara tersebut memiliki nilai magis dan berbentuk rasa syukur dan kegembiraan. Ibu-ibu diundang untuk mengikuti acara tari mortir.
Kemudian atur nada dan temponya sesuai dengan lagu yang dinyanyikan, sementara anak-anak bermain di samping atau di bawah rumah. Karena pada saat penelitian di desanya ia menggunakan rumah panggung dengan tangga di depannya.
Selain itu, acara Mappadendang khas Sulawesi Selatan ini dilanjutkan dengan gathering atau semacam silaturahmi. Tujuannya adalah untuk menjalin hubungan persahabatan dan menganggap persaudaraan sebagai kunci kehidupan.
Waktunya sudah malam atau mungkin setelah matahari terbenam. Dalam kegiatannya, diperlukan beberapa karakteristik dan sumber daya manusia untuk membantu kelancarannya agar kelestarian budaya tetap terjaga, meski sudah usang akibat digitalisasi etika.
Di dalamnya, akan ada semacam pertunjukan seni tradisional Bugis, dilanjutkan dengan penampilan dari kios perempuan Baruga, yang biasa disebut Pakindina. sedangkan di kamar laki-laki ada tarian saat menanam ujung lesung, yaitu Pakkambona.
Ternyata ada penjelasan lain yang kami kutip dari beberapa informasi terkait, yaitu ada valasuji, yaitu anyaman bambu untuk pagar. Pilihan pakaian juga diatur di dalamnya.
Wajib bagi perempuan memakai pakaian bodo, dan bagi laki-laki memakai kerudung hitam dan berbusana dari luar sampai lutut kemudian memakai sarafan hitam dengan corak tertentu.
Peralatan yang diminta dalam adat Mappedandang Bugis ini menggunakan lesung berukuran 1,5 x 3 meter dengan lebar 50 cm. Bentuk lesung ditentukan dalam bentuk joloro atau perahu.
Prosedur Pertunjukan Mappadendang di Sulawesi Selatan
Biasanya komponen utama dalam kegiatan ini meliputi enam orang perempuan, dua orang laki-laki, sebuah warung baruga, lesung dan lesung yang dilengkapi dengan pakaian adat, yaitu mengenakan pakaian bodo. Dalam acara ini, awalnya hanya anak perempuan dan remaja dari masyarakat umum.
Perempuan biasanya memainkan irama di warung baruga yang disebut Pakkinduna. Kemudian untuk laki-laki menari dan menancapkan ujung lesung yang disebut Pakkambona. Paviliun Baruga yang berbahan dasar bambu ini memiliki pagar anyaman yang biasa disebut Valasuji.
Ketika pemukul mulai memainkannya dengan terampil, dua orang pria biasanya melakukan tarian yang disebut pakarna. Isi lesung yang ditumbuk diisi dengan nasi atau ketan putih/hitam muda (ase pulu bahasa Bugis).
Bahkan jika Anda tidak menemukan beras muda nanti di musim panen, beras tua biasanya diambil dengan peringatan bahwa harus direbus selama 5-10 menit atau direndam dalam air mendidih selama 30 menit sebelum perontokan.
Setelah direndam, tiriskan dan panggang di atas kompor menggunakan wajan tanah liat tanpa menggunakan minyak. Konsep-konsep seperti itu menumbuhkan penghargaan, kepedulian, dan kekerabatan.
Belakangan, pada saat pementasan tradisi mapdanang tradisional Bugis di akhir masa panen, terkadang ada perayaan adopsi budaya dari Islam, yang telah memasuki masa Sultan Hasan al-Din.
Awalnya diposting pada 2021-10-29 01:00:00.