September 8, 2024
Home » Tragedi Kanjuruhan Menyoroti Suporter Sepakbola yang Anarkis
suporter sepakbola

Tragedi Kanjuruhan menyoroti para suporter sepakbola yang berbuat anarkis. Para suporter sepakbola memang diketahui demikian itu fanatik. Di satu sisi, fanatisme sepakbola amat menarik. Tetapi di sisi lain, orang-orang yang tak sportif akan gampang tersulut dan memancing kerusuhan.

Ada alasan ilmiah kenapa suporter olahraga, khususnya sepakbola dapat demikian itu fanatik. Penelitian menampakkan, adanya kesamaan antara identifikasi penggemar dengan regu olahraga dan bagaimana orang mengidentifikasinya dengan kebangsaan, etnis, bahkan gender mereka.

“Identifikasi regu yakni sejauh mana seorang penggemar merasakan relasi psikis dengan regu, dan penampilan tim diamati sebagai relevansi diri sendiri,” kata Daniel Wann, profesor psikologi di Murray State University.

Wann yang sudah mendedikasikan sebagian besar karirnya untuk penelitian perihal penonton olahraga menyebutkan, dalam menonton aksi olahraga, orang memang mengidentifikasikan diri dengan tim, dan bagi sebagian orang, identifikasi tim adalah hal penting dan kuat untuk perasaan diri mereka.

“Orang-orang mengikat hal dari idola atau tim kesayangan dalam identitas mereka sebagai penggemar tim X,” kata Edward Hirt, profesor ilmu psikologi dan otak di Indiana University- Bloomington, yang juga mengerjakan penelitian seputar psikologi penggemar olahraga.

“Sebagian besar dari siapa mereka, di mana mereka mendapat banyak dampak positif dan negatif, yaitu dari apa yang dikerjakan tim mereka,” sambungnya.

Suporter Sepakbola Menerima Kekalahan

Peneliti penggemar olahraga menekankan hal ini, bahwa acara olahraga yaitu kompetisi di mana ada jaminan bahwa satu regu mesti kalah. Yang berarti bahwa separo dari penggemar akan kecewa dengan alhasil.

“Menjadi penggemar tak hanya soal daya kerja kemenangan tim. Seluruh orang pada hasilnya akan mengalami kekalahan. Jelas ini mesti di sadari semua orang,” kata Hirt.

Kerusuhan atau suasana ribut yang terjadi di antara suporter sepakbola tidak senantiasa terjadi pada setiap club dan tiap lomba di gelar. Sebab tak semua suporter bikin gaduh dan rusuh.

Dalam sebuah studi baru-baru ini yang di terbitkan dalam Journal of Social Psychology, Wann dan Rick Grieve, profesor psikologi di Western Kentucky University. Menyurvei 148 penggemar dari kedua tim ketika mereka meninggalkan acara olahraga dan minta mereka untuk menilai persetujuan mereka. Dengan pernyataan bahwa kubu mereka sudah menampakkan perilaku dan sportivitas yang bagus.

Baca Juga: Ini Alasan TikTok Hapus 113 Juta Video dalam 3 Bulan

Mereka kemudian di pinta mengevaluasi suporter tim lawan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggemar, terutamanya dari regu juara, lebih cenderung mengatakan bahwa penggemar regu lawan menonjolkan perilaku yang lebih buruk. Daripada penggemar regu mereka sendiri, kasus bias dalam kelompok yang terang.

“Sepertinya bagi saya mereka menggunakan penghinaan dari penggemar lain sebagai metode untuk meningkatkan harga diri. Tak cuma merasa regu aku lebih bagus, namun mengukur penunjang lawan payah,” ujar Grieve.

Tetapi, ketika regu mereka tampil buruk, mereka mungkin juga menampakkan persepsi yang bias terhadap orang lain. Seperti wasit, pemain regu lain, atau penggemar regu lain. Ingat mereka tentang peristiwa lomba mungkin juga tidak akurat. Tragedi Kanjuruhan yang memilukan adalah pembelajaran mahal sekaligus menampilkan betapa antusias dan fanatiknya para penggemar sepakbola di Indonesia.

Jenjang fanatisme suporter sepakbola yang semacam itu besar, patut telah disadari oleh banyak pihak yang terlibat, termasuk pihak penyelenggara dan pihak keamanan untuk mengantisipasinya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *